Ekonom UI Fithra Faisal memprediksi nilai tukar rupiah bisa tembus Rp15 ribu per dolar AS dalam beberapa bulan ke depan. Pelemahan mata uang Garuda dipicu sentimen eksternal, yakni penyebaran wabah virus corona. Rupiah sangat sensitif dengan isu global. Jika sentimennya negatif, maka dampaknya ke rupiah akan langsung terasa. Secara fundamental rupiah masih rapuh. Kalau ada gejolak di eksternal, rupiah rentan kena.
Pelemahan rupiah terjadi karena banyak investor asing yang menarik dananya dari dalam negeri. Arus dana asing (capital outflow) sudah terlihat sejak Januari 2020. Tapi saat Januari 2020 rupiah terlihat masih Rp13 ribu per dolar AS, sempat terjadi anomali, padahal asing sudah mulai narik dana. Tapi tinggal tunggu waktu dan terbukti sekarang sudah Rp14 ribu per dolar AS. Pelemahan rupiah sejalan dengan koreksi yang terjadi pasar saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sejak awal tahun hingga perdagangan 27 Februari 2020 atau year to date (ytd) terkoreksi sebesar 10,92 persen.
Sementara, data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan investor asing tercatat jual bersih (net sell) sebesar Rp4,7 triliun sejak awal tahun hingga perdagangan 27 Februari 2020, sedangkan khusus kemarin net sell tercatat Rp1,04 triliun. Apa yang terjadi di bursa saham berimbas juga ke rupiah. Pergerakan rupiah akan semakin melemah jika ekonomi masih diselimuti ketidakpastian seperti sekarang. Jika korban virus corona terus menyebar ke berbagai negara, maka rupiah sulit berbalik ke zona hijau. Skenario terburuknya kalau virus corona tidak bisa dikendalikan, maka rupiah bisa sampai Rp15 ribu per dolar AS, tapi kalau jangka pendek belum jauh-jauh dari Rp14.100 sampai Rp14.200 per dolar AS.
Biasanya, dampak sentimen global akan berdampak pada rupiah selama dua bulan hingga tiga bulan. Namun, jika dalam rentang waktu tersebut isu virus corona tak terselesaikan, maka pengaruhnya akan lebih panjang ke rupiah. Pemerintah perlu memberikan respons yang baik, sinyal-sinyal positif. Jangan sampai menimbulkan ketidakpercayaan untuk investor. Salah satu sinyal positif tersebut adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnisbus Law Cipta Kerja. Kalau prosesnya tak membuat gaduh di dalam negeri, maka sentimennya positif untuk rupiah. Jika sampai ada kontroversi bisa menimbulkan ketidakpercayaan untuk investor. Itu akan berimbas ke sikap investor dan mempengaruhi rupiah.
Senada, Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat rupiah akan terus tertekan selama persoalan virus corona belum selesai. Masalahnya, investor akan lari ke aset yang lebih aman (safe haven), seperti dolar AS dan emas. Pasar cukup khawatir sampai kapan virus corona ini akan terus berlanjut. Kalau tidak ada penanganan yang berarti, maka orang akan memilih safe haven.
Namun, ia masih optimistis rupiah tak akan tembus ke level Rp15 ribu per dolar AS. Menurut Josua, rupiah masih bisa bertahan di kisaran Rp14 ribu per dolar AS. Apalagi pemerintah terus memantau, BI juga memantau. Ada protokolnya kalau memang rupiah terus memburuk. Terlebih, situasi ekonomi domestik terbilang masih cukup kondusif saat ini. Ia menyatakan sentimen itu bisa menolong rupiah agar tak jatuh terlalu dalam. Jadi harapannya kalau memang masih melemah ya sejalan dengan pelemahan mata uang di negara berkembang lain.
Sebagai informasi, nilai tukar rupiah bergerak melemah beberapa waktu terakhir. Pada perdagangan Kamis (27/2), rupiah bertengger di level Rp14.087 per dolar AS. Pelemahan rupiah terpantau terjadi sejak pertengahan bulan ini. Rinciannya, rupiah masih berada di level Rp13.660 per dolar AS pada perdagangan 17 Februari 2020. Setelah itu, nilai tukar rupiah terus melorot. Pada perdagangan 18 Februari 2020, rupiah bertengger di level Rp13.694 per dolar AS. Secara perlahan tapi pasti, rupiah terus tertekan ke level Rp13.760 per dolar pada 21 Februari 2020. Lalu, pada perdagangan 26 Februari 2020 mendarat di level Rp13.940 per dolar AS.