Harga barang pabrikan China melonjak tajam dan mencatatkan rekor tertinggi pada bulan lalu. Inflasi tersebut mulai membuat konsumen terbebani dan menimbulkan keresahan bagi ekonomi global.
Biro Statistik Nasional China mengatakan Indeks Harga Produsen meningkat dari 10,7 persen pada September menjadi 13,5 persen pada Oktober. Peningkatan tersebut menjadi yang tercepat sejak data tersebut dirilis pertama kali pada 1990an.
Di lain sisi, Indeks Harga Konsumen pada Oktober lalu naik hingga dua kali lipat menjadi 1,5 persen. Peralihan harga produsen ke harga konsumen terlihat memprihatinkan. Produsen dinilai telah mengupayakan sejumlah hal untuk menghindari beban biaya yang tinggi kepada konsumennya, salah satunya dengan menggunakan persediaan yang mereka miliki. Namun, harga yang kian menanjak membuat persediaan tersebut kini telah habis.
Inflasi yang terjadi selama 5 bulan terakhir disebabkan oleh kenaikan tagihan energi dan gangguan rantai pasok bahan pokok. Pekan lalu, Kementerian Perdagangan China memperingatkan kepada pemerintah daerah untuk mendorong keluarga agar mempersiapkan bahan pokok di rumah. Pasalnya, krisis energi, cuaca yang buruk, hingga lockdown akibat pandemi akan mengancam rantai pasok di China. Peringatan tersebut akhirnya memicu aksi panic buying di tengah masyarakat.
Otoritas setempat mengatakan kenaikan inflasi konsumen diakibatkan lonjakan biaya sayur dan gas. Harga sayur yang naik hingga 16 persen disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan naiknya biaya transportasi. Selain itu, harga bahan bakar bensin dan solar juga naik hingga 30 persen. Ini didorong oleh krisis energi dan biaya penambangan batu bara yang juga ikut naik.
Inflasi ini tidak hanya membuat masyarakat China khawatir, namun memicu keresahan secara global. Keresahan global sangat masuk akal, pasalnya, China sebagai wilayah industri memiliki peran penting terhadap rantai pasok global. Artinya, inflasi produsen di China dikhawatirkan akan mendorong inflasi secara global.