Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan digitalisasi perdagangan di Indonesia dapat menyebabkan deindustrialisasi. Pasalnya, di saat yang bersamaan, daya saing produk-produk lokal dalam negeri tidak ditingkatkan. Hal ini juga terlihat dari lonjakan volume impor barang konsumsi sejak terjadinya booming e-commerce pada 2015 yang tak sebanding dengan kenaikan impor bahan baku untuk produksi manufaktur.
Kesimpulannya bahwa jika RI tidak mempersiapkan daya saing produk lokal digitalisasi ini bisa menyebabkan deindustrialisasi. Kecuali kalau Indonesia mempersiapkan produk dengan baik digitalisasi akan meningkatkan ekonomi dan industrialisasi kita.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, kata Heri, ketika impor barang konsumsi naik 13,54 persen dari US$10,87 miliar menjadi US$12,34 miliar pada 2016, impor bahan baku justru turun 5,73 persen dari US$107,08 miliar menjadi US$100,94 miliar. Memang, pada 2017, kenaikan impor barang baku naik lebih tinggi yakni 16,56 persen dari US$100,9 miliar menjadi US$117,6 miliar, sementara kenaikan bahan konsumsi hanya 14,68 persen dari US$12,34 miliar menjadi US$14,16 miliar.
Namun, pada 2018, impor barang konsumsi kembali naik lebih tinggi yakni 22,03 persen dari US$14,08 miliar menjadi US$17,18 miliar sedangkan impor bahan baku hanya naik 20,06 persen dari US$117,85 miliar menjadi US$141,49 miliar. Sebaliknya, pada 2019, ketika impor bahan baku turun 11,7 persen dari US$141,58 miliar menjadi US$125,90 miliar, barang konsumsi hanya 4,51 persen dari US$17,18 miliar menjadi US$16,41 miliar.
Di samping itu, besarnya impor yang membuat Presiden Joko Widodo geram dan mengajak masyarakat membenci produk asing juga tak lepas dari ratifikasi perjanjian dagang yang dilakukan oleh pemerintah. Kerja sama perdagangan bebas tanpa penyiapan cukup matang akan berdampak pada meningkatnya defisit perdagangan dan peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia akan lebih rendah dibandingkan negara mitra.