Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini lebih baik dibandingkan pada 2018. Meski masih akan menghadapi gejolak, pertumbuhan ekonomi bisa berada di kisaran 5,3 persen. Pertumbuhan tersebut dapat tercapai apabila permintaan kebutuhan domestik dalam negeri dapat didorong dan meningkat di kisaran 5,5 persen. Kemudian, investasi juga tumbuh positif berada di angka 6,7 persen. Meski diperkirakan akan tumbuh, namun neraca perdagangan Indonesia diikhawatirkan tetap melemah. Ini dikarenakan kondisi pasar global yang belum cukup tenang.
Di samping itu, ia yakin pertumbuhan ekonomi tahun ini akan semakin baik yakni melihat kondisi nilai tukar Rupiah cenderung menguat. Berbeda dengan tahun lalu, dimana Rupiah sepanjang 2018 tercatat terdepresiasi sebesar hingga 6,9 persen. Penguatan Rupiah ini juga didorong oleh beberapa hal utama. Salah satunya adalah aliran modal asing yang masuk ke Indonesia cukup deras. Faktor lain kondisi fundamental baik, dan pasar valas semakin berkembaang tidak hanya SWAP, DNDF. NTR stabil dan cenderung menguat
Kemudian, yang menjadi fokus Bank Indonesia dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi juga dengan cara mengendalikan defisit transaksi berjalan. Sebab, defisit pada 2018 tercatat sebesar USD 31 miliar atau setara dengan 2,98 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Yang jadi fokus stabilitas eksternal, bagaimana supaya terus mengendalikan CAD dan menaikkan surplus dari neraca modal.
Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan ekonomi dunia melambat disertai dengan berkurangnya ketidakpastian pasar keuangan global. Perlambatan tidak hanya terjadi di Amerika Serikat (AS), tapi juga dialami oleh Eropa serta China.
Perry juga menyebutkan, pertumbuhan ekonomi AS melambat dipengaruhi oleh terbatasnya stimulus fiskal, masalah struktural tenaga kerja, dan menurunnya keyakinan pelaku usaha. Pertumbuhan ekonomi Eropa juga melambat, antara lain dipengaruhi oleh berlanjutnya permasalahan struktural ekonomi dan keuangan, pelemahan ekspor dan dampak ketidakpastian penyelesaian masalah Brexit.
Sementara itu, ekonomi China tumbuh melambat didorong melemahnya ekspor akibat ketegangan perdagangan dengan AS. Serta melambatnya permintaan domestik sebagai dampak proses deleveraging yang masih berlangsung. Sejalan dengan prospek pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, harga komoditas global diperkirakan menurun, termasuk harga minyak dunia, serta normalisasi kebijakan moneter di negara maju yang cenderung tidak seketat perkiraan semula dan ketidakpastian di pasar keuangan global yang berkurang.
Sementara itu, kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) akan lebih rendah dan pengurangan neraca bank sentral menjadi lebih kecil dari rencana. Perkembangan ekonomi dan keuangan global tersebut di satu sisi memberikan tantangan dalam mendorong ekspor, namun di sisi lain meningkatkan aliran masuk modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia.