Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan kenaikan harga sejumlah komoditas di pasar global akan mendorong percepatan pemulihan ekonomi yang lesu akibat pandemi covid-19. Terlebih, Indonesia merupakan penghasil sejumlah komoditas utama mulai dari nikel, minyak sawit (CPO), emas, tembaga (copper), batu bara, dan alumunium. Kenaikan harga komoditas ini memberikan waktu recovery ekonomi lebih cepat.
Tak hanya memanfaatkan kenaikan harga komoditas tersebut, ia mendorong industri untuk menciptakan hilirisasi. Dengan demikian, komoditas Indonesia memiliki nilai tambah. Hal ini terjadi pada komoditas nikel, dimana pemerintah melarang ekspor ore nikel atau bijih nikel. Sebaliknya, pemerintah mendorong hilirisasi nikel untuk menambah daya saing ekspornya. Menurut Airlangga, kebijakan itu mampu mendorong harga nikel di pasar internasional sekaligus menambah nilai ekspor Indonesia. Kenaikan harga nikel ini menjadi bagian dari kebijakan hilirisasi, dimana sebelumnya kita hanya ekspor bahan baku. Namun, dalam 4-5 tahun terakhir ini kita bangun secara masif industri berbasis nikel.
Selain itu, pemerintah akan memanfaatkan momentum kenaikan harga komoditas sawit untuk melakukan peremajaan pohon sawit (replanting). Bahkan, ia menuturkan pemerintah tengah mempersiapkan skema pendanaan baru untuk program replanting sawit. Replanting sawit ini terintegrasi dananya baik dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dan ini akan dilanjutkan dengan KUR (Kredit Usaha Rakyat). Ini sedang disiapkan regulasinya oleh pemerintah dan diharapkan ini bisa dilaksanakan dalam momentum yang baik ini.
Melihat perkembangan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2021, Airlangga meyakini Indonesia bisa tumbuh positif pada kuartal II 2021. Bahkan, ia optimis target pertumbuhan ekonomi 7 persen bisa tercapai dengan fokus mendorong konsumsi rumah tangga, konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT), dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Ini yang harus didorong di kuartal II supaya kita bisa tumbuh lebih tinggi atau di kisaran yang kami harapkan bisa naik ke 7 persen.
Di luar indikator tersebut, komponen lainnya sudah bergerak ke arah positif sehingga laju ekonomi Indonesia membentuk pola V (V shape). Misalnya, kata dia, konsumsi pemerintah tumbuh 2,96 persen di kuartal I 2021, lalu ekspor tumbuh 6,74 persen dan impor naik 5,27 persen.
Selain itu, optimisme pertumbuhan ekonomi juga ditopang basis angka PDB yang rendah pada kuartal II 2020 lalu akibat pandemi covid-19 yaitu minus 5,32 persen. Pada kuartal II 2020, PDB berdasarkan harga konstan berada di posisi Rp2.598 triliun. Sedangkan, angkanya pada kuartal I tahun ini sudah mendekati level Rp2.683 triliun. Sehingga tentu target Rp2.700 triliun relatif bisa dicapai dengan mengingat beberapa kebijakan yang sudah dilakukan.