Harga minyak mentah dunia melanjutkan penguatannya ditopang optimisme pasar terkait komitmen terbaru dari produsen minyak utama untuk mengurangi produksi. Optimisme ini mengimbangi kekhawatiran pasar bahwa kasus baru virus corona mengganggu pasokan bahan bakar.
Mengutip Antara, Rabu (10/6), minyak mentah Brent untuk pengiriman Agustus naik 38 sen atau 0,9 persen menjadi US$41,18 per barel di London ICE Futures Exchange.
Sedangkan, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juli naik 75 sen atau 2,0 persen menjadi US$38,94 per barel di New York Mercantile Exchange.
Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC), bersama Rusia dan produsen lainnya atau OPEC+ sepakat memperpanjang pemangkasan produksi 9,7 juta barel per hari (bph) hingga akhir Juli. Pemangkasan tersebut sudah berlangsung sejak Mei lalu.
Namun, Arab Saudi, Kuwait dan Uni Emirat Arab mengatakan mereka tidak akan mempertahankan tambahan pengurangan pasokan harian yang berjumlah lebih dari 1 juta barel.
Sementara itu, Libya menyatakan kondisi kahar (force majeure) untuk ekspor minyak dari ladang minyak Sharara. Sebelumnya, produksi pada ladang Sharara dihentikan sementara oleh kelompok bersenjata.
"Upaya itu telah membantu mengurangi kejatuhan lebih lanjut," kata Andrew Lipow, Presiden Lipow Oil Associates.
Di sisi lain, persediaan minyak mentah AS meningkat karena pandemi covid-19 membatasi permintaan konsumsi bahan bakar. Data American Petroleum Institute menunjukkan persediaan minyak mentah naik 8,4 juta barel dalam sepekan menjadi 539,4 juta barel pada pada 5 Juni lalu.
Sementara itu, Goldman Sachs menaikkan proyeksi harga minyak Brent menjadi US$40,40 per barel dan WTI menjadi US$36 per barel tahun ini. Namun, mereka memperingatkan terdapat kemungkinan harga akan mundur kembali dalam beberapa pekan mendatang karena ketidakpastian permintaan dan peningkatan persediaan.
Saat ini, permintaan bahan bakar perlahan pulih dari keruntuhan pada April lalu akibat penguncian wilayah (lockdown) di sejumlah negara. Meski pulih, analis mengatakan bahwa lonjakan harga menjadi US$40 per barel merupakan pandangan yang terlalu optimis.