Harga minyak menguat lebih dari satu persen ke posisi tertinggi pada tahun 2019. Hal ini seiring dengan harapan pasar komoditas terutama minyak akan seimbang yang didorong pemangkasan produksi dari produsen top dunia lantaran sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap anggota OPEC yaitu Iran dan Venezuela.
Selain itu, pasar juga khawatir terhadap negosiasi perdagangan antara AS dan China berkontribusi mendorong harga minyak melemah pada awal sesi perdagangan. Akan tetapi, pasar berbalik arah usai ada sinyal perkembangan negosiasi dan penguatan bursa saham.
Presiden AS Donald Trump menyatakan negosiasi dengan China berjalan baik. Ia juga terbuka untuk memperpanjang tenggat waktu kesepakatan setelah tanggal 1 Maret. Hal itu saat tarif impor Tiongkok senilai USD 200 miliar dijadwalkan naik menjadi 25 persen dari 10 persen.
"Kami berada di pasar menunggu tajuk utama berikutnya untuk mendorong harga lebih tinggi atau rendah. Pembicaraan perdagangan AS-China adalah di antara masalah yang paling difokuskan oleh para pelaku pasar," ujar Phil Flynn, Analis Price Futures Group, seperti dikutip dari laman Reuters, pada hari Kamis (21.02.2019).
Harga minyak Brent mengalami kenaikan sebesar 63 sen atau 0,95 persen ke posisi USD 67,08 per barel. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret ditutup menguat 83 sen atau 1,48 persen ke posisi USD 56,92 per barel menjelang berakhirnya kontrak. Kontrak pada bulan April lebih aktif naik 1,38 persen atau 71 sen ke posisi USD 57,16.
"Pekan ini harga minyak ke posisi tertinggi dalam tiga bulan di tengah harapan pasokan yang ketat," tutur Gene McGillian, Vice President of Market Research Tradition Energy.
Ia menambahkan, OPEC dan Rusia juga memberlakukan pemangkasan dan kekhawatiran pengurangan ekspor Venezuela telah membantu mendorong harga minyak naik.