Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.236 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar spot Selasa (2/4) pagi. Posisi ini melemah 0,05 persen terhadap dolar AS dibandingkan penutupan Senin (1/4) di posisi Rp14.229 per dolar AS. Pagi ini, hampir seluruh mata uang utama Asia melemah terhadap dolar AS. Ringgit Malaysia melemah 0,12 persen, dolar Singapura melemah 0,08 persen, yen Jepang melemah 0,05 persen, sementara won Korea Selatan dan baht Thailand sama-sama loyo 0,03 persen. Di sisi lain, dolar Hong Kong tak menunjukkan pergerakan terhadap dolar AS.
Hal serupa juga terjadi di negara maju. Poundsterling Inggris melemah 0,25 persen, dolar Australia melemah 0,04 persen, dan euro juga lunglai 0,06 persen terhadap dolar AS.
Analis Monex Investindo Dini Nurhadi Yahsyi mengatakan sebetulnya rupiah tidak melemah secara fundamental. Ini dibuktikan dengan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengatakan bahwa inflasi Maret tercatat 0,11 persen sehingga membuat inflasi tahunan di angka 2,48 persen, atau di bawah tahun lalu yakni 3,4 persen. Hanya saja, dolar AS hari ini memang tengah perkasa yang disebabkan karena dua hal. Pertama, pasar memilih bertahan (wait and see) terhadap keputusan final perceraian Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Sebab semalam, parlemen Inggris kembali menolak seluruh usulan terkait paket kompensasi bagi Inggris (deal). Padahal Uni Eropa memberi tenggat waktu hingga 12 April bagi Inggris untuk menentukan pilihan.
Akibatnya, pelaku pasar kian tak percaya lagi dengan kondisi ekonomi Inggris. Sehingga, investor mengalihkan aset instrumennya ke dolar AS yang dianggap sebagai instrumen yang aman (safe haven). Tak heran, nilai poundsterling jatuh, sementara dolar AS kian berkibar. Kemudian, ini diperkuat dengan faktor kedua, yakni data manufaktur AS. Semalam, indeks manufaktur AS pada Maret tercatat di angka 55,3, atau membaik dari bulan sebelumnya 54,2. Angka ini bikin pelaku pasar 'pede' dengan ekonomi AS. Tapi kalau dilihat dari sebelumnya, memang ada perlambatan ekonomi di AS. Tapi kalau dibanding negara utama lainnya, justru perekonomian AS masih punya prospek bagus. Apalagi kalau dibandingkan dengan zona Eropa dan Inggris, AS bisa dibilang negara yang paling solid.
Namun, rilis data inflasi kemarin seharusnya bisa menjadi katalis positif bagi rupiah pada hari ini. Sehingga, jika memang rupiah melemah, maka pelemahannya terbatas. Jadi rentang untuk hari ini sama dengan kemarin, Rp14.175 per dolar AS hingga Rp14.280 per dolar AS.
Sementara itu, Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan pelaku pasar kini sudah tidak resah dengan ekonomi AS lantaran inversi imbal hasil obligasi pemerintah AS (inverted yield curve) berhenti untuk sementara.
Adapun, inverted yield curve adalah kondisi di mana imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) bertenor pendek lebih tinggi ketimbang SBN bertenor panjang. Jika imbal hasil SBN jangka pendek memiliki imbal hasil tinggi, artinya permintaannya sedang tinggi. Tapi, justru ini mengindikasikan pesimisme ekonomi suatu negara karena tidak ada yang mau beli SBN bertenor panjang.
Hanya saja, pada akhir pekan lalu, imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor tiga bulan berada di 2,39 persen, sementara untuk 10 tahun sebesar 2,4068 persen. Artinya, pelaku pasar yakin ekonomi AS tidak akan mengalami resesi. Tak heran, banyak pelaku pasar mulai mengalihkan asetnya lagi ke dolar AS.
Untuk hari ini, Ibrahim menaksir rupiah di kisaran Rp14.196 hingga Rp14.260 per dolar AS. Kegelisahan mengenai ancaman resesi untuk sementara sudah mereda. Bukan berarti tidak akan terjadi kembali, tetapi untuk saat ini biarkan investor menikmati ketenangan barang sejenak.