Nilai tukar rupiah berada di level Rp14.082 per dolar AS pada Kamis (25/2) pagi. Posisi tersebut menguat tipis 0,02 persen dibandingkan perdagangan Rabu (24/2) sore di level Rp14.085 per dolar AS. Pagi ini, mayoritas mata uang di kawasan Asia terpantau menguat terhadap dolar AS. Dolar Singapura menguat 0,06 persen, dolar Taiwan menguat 0,09 persen, dan won Korea Selatan menguat 0,39 persen.
Kemudian peso Filipina menguat 0,03 persen, rupee India menguat 0,19 persen yuan China menguat 0,08 persen, dan bath Thailand terpantau menguat 0,08 persen. Sebaliknya yen Jepang melemah 0,22 persen, sedangkan ringgit Malaysia stagnan. Sementara itu, mata uang di negara maju bergerak bervariasi terhadap dolar AS. Poundsterling Inggris menguat 0,04 persen dan dolar Australia menguat 0,01 persen. Sebaliknya dolar Kanada melemah 0,02 persen dan franc Swiss melemah 0,06 persen.
Kepala Riset Monex Investindo Ariston Tjendra mengatakan pagi ini sentimen pasar terhadap aset berisiko terlihat meninggi dengan penguatan indeks saham Asia yang mengikuti kenaikan besar indeks saham Amerika Serikat. Hal ini lantaran pasar menanggapi positif pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell di hadapan komite jasa keuangan DPR AS bahwa target inflasi mungkin baru akan tercapai 3 tahun lagi.
Oleh karena itu, the Fed masih akan mempertahankan kebijakan pelonggaran moneter. Kemajuan program vaksinasi global juga bisa membantu penguatan sentimen aset berisiko hari ini. Rupiah berpotensi menguat terhadap dolar AS dengan alasan-alasan tersebut.
Namun, penguatan rupiah bisa tertahan karena kenaikan tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS terutama tenor jangka panjang yang mendorong penguatan dolar AS terhadap nilai tukar lainnya. Tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun mencatat level tertinggi di 1,43 persen sejak Februari 2020. Kenaikan tingkat imbal hasil ini masih karena respon pasar terhadap outlook kenaikan inflasi dengan membanjirnya stimulus di AS. Potensi pergerakan rupiah hari ini di kisaran Rp14.050-14.100.